Showing posts with label Aqidah Aswaja. Show all posts
Showing posts with label Aqidah Aswaja. Show all posts

MATA RANTAI MADZHAB AHLLUSSUNNAH WALJAMA'AH (ASWAJA)

January 01, 2014 Add Comment
MATA RANTAI MADZHAB AHLLUSSUNNAH WALJAMA'AH (ASWAJA)

Sistem pemahaman Aqidah Islamiyyah menurut Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya hanyalah merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dan Khulafa’ur-rosyidin. Tetapi system pemahan ini baru menonjol setelah abad ke-2 H, yaitu setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah. Dalam konteks sejarah para imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah atau Ilmu Kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Imam Ahlussunnah wal Jamaah pada saat itu adalah Ali bin Abi Tholib, yang berjasa membendung pendapat golongan Khowarij tentang al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman) dan membendung pendapat golongan Qodariyah tentang masyi’ah dan Istitho’ah (kehendak tuhan dan daya manusia), serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Sayyidina Ali, masih ada Abdullah bin Amr yang menolak pendapat Ma’bad al-Juhani tentang kebebasan berkehendak bagi manusia.
Di era tabi’in, muncul beberapa imam yang mngemban misi Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul Aziz dengan Risalahnya “Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi ini, muncul imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqh dan imam madzhab juga ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini, diantaranya, imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam Syafi’I dengan karyanya Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah dan ar-Rodd ‘alal Ahwa.
Setelah periode imam Syafi’i, muncul muridnya yang berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Abul Abbas ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul Hasan al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.
Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan bahwa aqidah Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul Hasan al-Asy’ari. Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan mu’tazilah. Tetapi semakin menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat banyaknya celah dan kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia 40 tahun beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan yang di hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap mencurigakan dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang menuduhnya menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal seperti, al-Ibanatu ‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi Ilmil Kalam, al-Luma’ dan Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin, menggambarkan betapa imam Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan seruan-seruannya tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.
Perumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah selain imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan imam Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil sikap tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum tekstualis (tawasuth Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda kala itu. Kalaupun keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu hanyalah dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas semata.  
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tathhirul Janan wal Lisan berkata,Jika dikatakan siapakah yang dimaksud Ahlissunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan al-Asy’ari dan Abi Manshur al-Maturidi. Keduanya adalah pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan jasa golongan Asy’ariyah dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fatawi-nya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan Asya’iroh adalah para penolong ushuluddin”.
Sumber. Risalah NU, Fiqh Tradisional (KH. Muhyiddin Abdusshomad). Pegangan Praktis Faham Ahlussunnah wal Jama’ah (PP LDNU), Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlotul Ulama, dll.

Sejarah dan Terjemah Kitab Aqidatul Awam

December 18, 2013 Add Comment


Kitab Nazhom Aqidatul Awam (عقيدة العوام) merupakan kitab yang berisi syair-syair (nadham) tentang Tauhid, kitab ini dikarang oleh Syaikh as-Sayyid al-Marzuqiy. Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Sayyid Ramadhan al-Marzuqiy al-Hasaniy wal Husainiy al-Malikiy, al-Mishriy al-Makkiy,, dilahirkan sekitar tahun 1205 H di Mesir. Sepanjang waktu beliau bertugas mengajar di Masjid Mekkah. Karena kepandaian dan kecerdasannya, beliau kemudian diangkat menjadi Mufti Mazhab Maliki di Mekkah menggantikan Sayyid Muhammad yang wafat sekitar tahun 1261 H. Syaikh Ahmad al-Marzuqiy juga terkenal sebagai seorang Pujangga dan dijuluki dengan Abu Alfauzi.
هو شيخ قراء مكة السيد الشريف الشيخ أبو الفوز أحمد بن محمد بن السيد رمضان المرزوقي الحسني والحسيني المالكي ، ‏ المصري ثم المكي ، والمرزوقي نسبة إلى العارف بالله مرزوق الكفافي . وآل المرزوقي مشهورون بالعلم والتقوى والورع
Salah satu guru beliau adalah asy-Syaikh al-Kabir as-Sayyid Ibrahim al-‘Ubaidiy, beliau adalah ulama yang berkonsentasi pada Qira’ah al-Asyrah (Qira’ah 10).
Dan diantara murid-murid beliau adalah Syaikh Ahmad Damhan (1260 – 1345 H), Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1232 – 1304 H), Syaikh Thahir at-Takruniy dan lain sebagainya.
Salah satu kitab yang beliau karang adalah kitab Aqidatul Awam. Beliau mengarang kitab ini, bermula ketika beliau mimpi berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para Sahabatnya pada akhir malam Jum’at pertama di bulan Rajab.
Kitab Aqidatul ‘Awam telah beliau rincikan dalam sebuah kitab syarah yang diberi nama Tahshil Nail al-Maram Libayani Mandhumah ‘Aqidah al-‘Awam (تحصيل نيل المرام لبيان منظومة عقيدة العوام), dan turut memberikan syarah atas kitab ‘Aqidatul Awam yaitu Syaikh al-Imam an-Nawawiy ats-Tsaniy al-Bantaniy al-Jawiy asy-Syafi’i dengan nama kitab Nurudl Dlalam ‘alaa Mandhumah ‘Aqidah al-‘Awam (نور الظلام على منظومة عقيدة العوام) dan juga kitab syarah yang dikarang oleh Syaikh Ahmad al-Qaththa’aniy al-‘Aysawiy dengan nama Tashil al-Maram liDaarisil Aqidatil Awam (تسهيل المرام لدارس عقيدة العوام).
Dalam kitab Nurudl Dlalam, Imam an-Nawawiy ats-Tsaniy al-Jawiy menuturkan bahwa alasan Syaikh al-Marzuqiy menulis kitab tersebut adalah karena beliau mimpi berjumpa dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam mimpi itu Rasulullah bersabda,
اقرأ منظومة التوحيد التي من حفظها دخل الجنة ونال المقصود من كل خير وافق الكتاب والسنة
“Bacalah nadham Tauhid yang barangsiapa yang memeliharanya akan masuk surga dan tercapai tujuan (maksud) dari segala kebaikan yang selaras dengan Qur’an dan Sunnah”
Syaikh al-Marzuqiy berkata,
وما تلك المنظومة يا رسول الله
“Nadham-nadham apakah itu wahai Rasulullah ?”
Para sahabat Nabi berkata,
اسمع من رسول الله ما يقول
“Dengarkanlah apa-apa yang akan Rasulullah katakan”
Rasulullah bersabda,
قل أبدَأُ باسْمِ اللهِ والرَّحْمنِ
“Katakanlah, Aku memulai dengan menyebut nama Allah yang Maha Penyayang”
Maka, Syaikh al-Marzuqiy pun berkata,
أبدَأُ بِاسْمِ اللهِ والرَّحْمَنِ … إلى آخرها
“Aku memulai dengan menyebut Asma Allah yang Maha Penyayang …. (ilaa akhirihi, sampai nadham yang Rasulullah ajarkan selesai)”
Yaitu sampai pada bait,
وَصُحُـفُ الـخَـلِيلِ وَالكَلِيمْ : فِيهَـا كَلامُ الْـحَـكَمِ الْعَلِيمْ
Nabi pun berdo’a dan para Sahabat meng-Amin-kannya. Begitulah asal mula Syaikh al-Marzuqiy mengarang kitab ‘Aqidatul ‘Awam. Mula-mula nadhamnya berjumlah 26 bait, kemudian Syaikh al-Marzuqiy menambahkan lagi sebanyak 31 bait hingga berjumlah 57 bait, karena kecintaan Syaikh al-Marzuqiy kepada Rasulullah. 31 nadham yang ditambahkan tersebut dimulai dengan bait berikut,
وَكُلُّ مَا أَتَى بِهِ الرَّسُولُ : فحَقُّهُ التسْليمُ وَالْقَبُولُ
Hingga selesai yaitu sampai pada bait,
أبْيَاتُهَا ( مَـيْـزٌ ) بِـعَدِّ الْجُمَّل : تَارِيْخُها ( لِيْ حَيُّ غُرٍّ ) جُمَّلِ
سَـمَّـيْـتُـهَا عَـقِـيْدَةَ الْـعَوَام : مِـنْ وَاجِبٍ فِي الدِّيْنِ بِالتَمَامِ
Huruf-huruf pada lafadz (مَـيْـز) dalam hitungan Jummal berjumlah 57 yaitu (م)=40, (ي)=10, (ز)=7. Angka 57 tersebut adalah jumlah dari nadham (bait) dari kitab ‘Aqidatul ‘Awam, oleh karena itu baitnya berbunyi,
“Jumlah bait-baitnya adalah (ميز) atau 57 berdasarkan hitungan Jummal”
“Sejarahnya (selesainya) adalah (لِيْ حَيُّ غُرٍّ) atau 1258 juga berdasarkan hitungan Jummal”
Angka 1258 adalah tahun selesainya nadham ‘Aqidatul ‘Awam yaitu 1258 Hijriyah. Rincian dari kalimat (لِيْ حَيُّ غُرٍّ) adalah (ل)=30, (ي)=10, (ح)=8, (ي)=10, (غ)=1000, (ر)=200.
Kitab yang sangat berharga dalam membangun aqidah ini, diawali dengan pujian kepada Allah dan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, keluarga, para Sahabat serta orang-orang yang mengikut jalan agama yang benar (Dinul Haq).
أبـْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ والـرَّحْـمَن : وَبِـالـرَّحِـيـمِ دَائـِمِ الإحْـسَان
فالـحَـمْـدُ للهِ الـقَدِيْمِ الأوَّلِ : الآخِـرِ الـبَـاقـِيْ بِلا تـَحَـوُّلِ
ثـُمَّ الـصَّلاةُ وَالسَّلامُ سَرْمَدَا : عـَلَـى الـنَّـبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ وَحَّدا
وآلِهِ وَصَـحْبِهِ وَمَـنْ تَـبِـعْ : سَـبِـيلَ دِيْنِ الْحَقِّ غَيْرَ مُـبْـتَدِعْ
Berikutnya tentang sifat wajib bagi Dzat Allah dan juga sifat jaiz yang wajib diketahui oleh setiap kaum Muslimin yang mukallaf.
وَبَـعْـدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوبِ الْمَعْرِفَـهْ : مِنْ وَاجِـبٍ للهِ عِـشْرِينَ صِفَهْ
فـَاللهُ مَـوْجُـودٌ قـَدِيمٌ بَاقِـي : مُخَـالـِفٌ لِلْـخَـلْقِ بِالإطْلاقِ
وَقَـائِمٌ غَـنِـيْ وَوَاحِـدٌ وَحَيّ : قَـادِرٌ مُـريـدٌ عـَالِمٌ بكلِّ شَيْ
سـَمِـيعٌ البَـصِـيْـرُ والْمُتَكَلِـمُ : لَهُ صِـفَـاتٌ سَـبْـعَـةٌ تَـنْـتَظِمُ
فَقُـدْرَةٌ إرادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ : حَـيَـاةٌ الْـعِلْـمُ كَـلامٌ اسْـتَمَرْ
وَجَائـِزٌ بـِفَـضْـلِهِ و عَدْلِهِ : تـَرْكٌ لـِكُـلِّ مُمْـكِـنٍ كَفِعْلِهِ
Sifat yang wajib terdiri dari 20 sifat yaitu al-Wujud (ada). Dalam kitab Nurudl Dlolam dituturkan dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaaha : 14)
Dan dalam kitab al-‘Aqidah ad-Diniyyah karangan Syaikh Abdurrahman bin Saqaf bin Husain as-Saqaf al-‘Alwiy al-Husainiy asy-Syafi’i al-Asy’ariy dituturkan bahwa makna Wujud didalam haq Allah adalah menyakini secara pasti (al-I’tiqadu al-Jazimu) bahwa sesungguhnya Allah itu ada secara haq (muhaqqaqan) tidak ada keraguan tentang hal itu, dan dalil yang menunjukkannya adalah firman Allah,
اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الأَنْهَارَ, وَسَخَّر لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَآئِبَينَ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ , وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai, Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang, Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah).” (QS. Ibrahim : 32-34)
Sifat yang bertentangan sifat Maujud atau sifat yang mustahil bagi Haq Allah adalah al-‘Adam (ketiadaan). Berikutnya, al-Qadim (terdahulu), tidak ada awal bagi keberadaan Allah, tidak menciptakan diri-Nya sendiri dan tidak pula diciptakan oleh selain-Nya, berdasarkan firman Allah,
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْa
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan” (QS. al-Ikhlas : 3)
Maksud dari sifat ini, dalam karya Syaikh as-Saqaf diterangkan adalah wajib bagi umat Islam beri’tiqad secara pasti (al-I’tiqadu al-Jazimu) bahwa keberadaan Allah adalah terdahulu dan tidak ada awalnya bagi keberadaan Allah, dalil tentang hal ini adalah,
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin ; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. al-Hadiid : 3)
Maka dari itu mustahil bagi Allah memiliki sifat al-Huduts (baru).
Diatas adalah sekilas tentang penjelasan dua sifat wajib Allah dalam nadham ‘Aqidatul Awam dari kitab syarahnya yaitu kitab Nurudl Dlalam karya Imam an-Nawawiy ats-Tsani al-Jawiy dan juga disertai penjelasan dari kitab ad-Aqidah ad-Diniyah karya Syaikh as-Saqaf yang banyak di ajarkan disekolah-sekolah Islam Ahl as-sunnah wal al-Jama’ah dan juga di pesantren Ahl as-sunnah wal al-Jama’ah.

Sekilas Pengertian ASWAJA

September 27, 2013 Add Comment
 Sesuai uraian diatas, pengetian ASWAJA adalah kelompok yang selalu berpegang pada sunah Rosululloh dan metode sahabatnya yang tercermin dalam aspek:
1. I’tiqod diniyyah (keyakinan keagamaan)
2. A’mal al-badaniyyah (amal ibadah)
3. Akhlaq al-qolbiyyah (budi pekerti)
     Istilah Aswaja ini muncul sekitar periode tiga ratus Hijriyah, dipelopori oleh Imam Abi Hasan al-Asy’ari murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah bernama Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut Imam as-Subuki, selama 40 tahun lamanya al-Asy’ari berada dibelakang kelompok ini. Namun setelah melalui perenungan panjang nanmendalam, Imam al-Asy’ari akhirnya sampai pada kesimpulan adanya kejanggalan-kejanggalan dari ajaran yang telah lama digelutinya ini, khususnya mengenai posisi akal pikir manusia di hadapan Nash al-Qur’an ataupun Hadits, serta kewajiban Alloh berbuat membalas kebajikan terhadap hambanya yang telah menjalankan kebajikan. (lihat: Dzohrul Islam)
         Adapun Imam Al-Asy’ari yakni ‘Aly bin Isma’il bin Abi Bisyri Ishaq Bin Salim Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Bardah Bin Abi Musa Al-Asy’ary (yaitu Abdillah Bin Qais, shahabat Nabi) lahir tahun 260 H. dan Imam Al-Maturidy yakni Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al-Hanafy bukanlah pencetus pertama dalam bidang ilmu Kalam, namun Beliau berdualah yang mengokohkan Imam Madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Madzhab Syafi’i sedangkan Imam Abu Manshur Al-Maturidy adalah pengikut Madzhab Abu Hanifah. (Lihat: TobaqotusSyafiiyyah Kubro, Tajuttarojim dan Al A’lam)
     Syaikh ‘Izzuddin Bin Abd. Salam menjelaskan bahwa aqidah yang digagas oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary telah disepakati dan menjadi konsensus ‘Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Fudlola’u (pembesar) Hanabilah. Sepakat pula Guru Besar Madzhab Malikiyah Imam Abu ‘Umar Bin Al-Hajib di zaman Beliau, demikian pula Guru Besar Madzhab Hanafiyah Syaikh Jamaluddin Al-Hushairy.
Pengakuan Syaikh ‘Izzuddin tersebut juga diakui Syaikh Taqiyuddin As-Subuky sesuai pendapat yang diliput putra Beliau yakni Syaikh Tajuddin As-Subuki, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Az-Zubaidi sebagaiman berikut:

أهل السنة من المالكية والشافعية وأكثر الحنفية بلسان أبي الحسن الأشعري                                                                       
            Syaikh Tajuddin As-Subuky memaparkan: Sepengetahuan saya bahwa semua ‘Ulama pengikut Imam Malik semuanya adalah Asya’iroh tidak ada yang keluar, ‘Ulama Syafi’iyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan yang beranggapan bahwa Allah adalah merupakan jisim (benda) atau Mu’tazilah, Hanafiyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan Mu’tazilah dan ‘Ulama Hanabilah yang mulia identik dengan Asya’iroh kecuali golongan yang berkeyakinan Allah adalah jisim. Golongan yang menganggap Allah sebagai jisim lebih banyak daripada golongan pengikut Madzhab lain. Sebagian Ulama yang mengikuti Faham Asy’ariyyah:

- Al Ustadz Abu Sahl As Sho’luki                               – Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfiroyini
- As Syaikh Abu Bakar Al Qoffal                               – As Syaikh Abu Zaid Al Marwazi
- Al Ustadz Abu Abdulloh bin Khofif                         – As Syaikh Zahir bin Ahmad As Sarkhisi
- Al Hafidz Abu Bakar Al Jurjani Al Ismailiy                         – As Syaikh Abu Bakar Al Awdani
- As Syaikh Abu Muhammad Atthobari Al Iroqi        – As Syaikh Abu Al Hasan Abdul Aziz At Thobari
- As Syaikh Abu Ja’far As Salma An Naqqosh                        – As Syaikh Abu Abdillah Al Asbihani As Syafi’i
- As Syaikh Abu Muhammad Al Qorosyi Az Zuhri    – As Syaikh Abu Manshur bin Khamsaad
(Lihat: TobaqotusSyaiiyyah Kubro)

Adapun Muhadditsin (ahli Hadits) dan Shufiyah (ahli Tasawwuf) karena sudah sepakat dengan aqidah Al-Asy’ary dan Al-Maturidy maka mereka juga tergolong dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Dengan demikian, orang-orang yang mengingkari golongan Shufiyah (ahli Tasawwuf) dan orang-orang yang tidak sepakat dengan Madzhab empat bukanlah termasuk Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan memakai istilah yang dipakai oleh golongan tertentu tersebut.

Mengenai pendalaman lebih lanjut atas faham Aswaja ini, diatas telah di paparkan dengan melalui pelacakan terhadap Hadits-hadits yang dinilai valid. Sebab tiada jalan lain untuk bisa memperoleh pemahaman keagamaan sesuai ajaran Rosululloh dan para Sahabatnya, kecuali melalui telaah hadits secara kritis.

Namun untuk saat ini, dimana dengan terpautnya masa dengan Rosululloh SAW. yang menyebabkan kesulitan telaah Al qur’an beserta sebab-musabab turunnya Al Qur’an (Asbabunnuzul) dan hadist beserta sebab-mubabab turunnya hadist (asbabulwurud) kecuali dengan meneliti Manuskrip, kitab-kitab Al Mu’tabar (yang dianggap valid) maka  pendalaman hanya bisa dilakukan melalui kajian mendalam atas kitab-kitab karya Ulama’ Salaf. Karena pada dasarnya, kitab-kitab tersebut merupakan penjabaran dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits, yang dihasilkan melalui analisa selektif dan konprehensif dengan tingkat kecermatan yang sangat tinggi. Dan agar kita terhindar dari sabda Nabi tentang laknat bagi orang yang menafsiri qur’an seenaknya, sebagai berikut:
سنن الترمذى – (ج 11 / ص 171)
3204 – حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Dari sahabat Anas bin Malik RA., beliau berkata: “Rosululloh SAW. bersabda”:“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an (mengambil dalil dari Al Qur’an) dengan tanpa ilmu, maka tetapkanlah tempat duduknya bagian dari neraka (niscaya akan masuk neraka)”.

Imam Al Munawi Menjelaskan Hadist diatas sebagai berikut:
فيض القدير الجزء السادس ص  190
من قال في القرآن وفي رواية للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن برأيه أي بما سنح في ذهنه وخطر ببالهمن غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول فأصاب أي فوافق هواه الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلميةومن غير أن يكون له وقوف على لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم فقد أخطأ في حكمه على القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل وتكلم فيه على وجهالتأويل فغير داخل في هذا الخبر.
Artinya: ““Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”, dalam sebagian riwayat Imam turmudzi dan lainnya (di tulis dengan:) “Barangsiapa berkata dalam kitab Alloh”, dalam sebagian riwayat (dengan:) “Barangsiapa berbicara dalam Al Qur’an dengan pikirannya”, yakni: dengan pemikiran yang timbul dihati yang kotor tanpa mengetahui dengan dasar-dasar dan kebaikan dalil manqul (naqli: Al Qur’an dan Hadist) kemudian mendapat kebenaran yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa memandang pendapat para ulama, tanpa merujuk kaidah-kaidah keilmuan, tanpa menyandarkan pada tata bahasa arab, penggunaan hakikat-majaz global-terperinci umum-khusus, tanpa mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, Nasikh-mansukh (al Qur’an yang menyalin dan disalin), dan tanpa mengetahui Qoul-qoul para Imam serta penakwilan beliau-beliau. Maka orang tersebut benar-benar keliru menghukumi dengan Al Qur’an dengan sesuatu yang tidak diketahui asalnya dan persaksian atas Alloh, semua hal diatas adalah maksud dari hadist “Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…, Adapun Ulama yang berkata dalam al Qur’an dengan menggunakan dalil dan berbicara sesuai ta’wil bukanlah orang yang masuk dalam pengertian hadist ini (“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…).”

Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahli Sunah wal Jama’ah dalam konteksterkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ menandaskan, ciri ahli Sunah wal Jama’ah, adalah mereka:
-          Yang dibidang Fiqh mengikuti faham Imam Abi Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i bin Idris atau Imam Ahmad bin Hambal.
-          Dibidang Tasawwuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Ghozali.
-          Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi.

Hubungan antara Ahli Sunah wal Jama’ah dengan NU dan organisasi keagamaan lainnya, dapat dilihat dari bagaimana gaya masing-masing organisasi tersebut memahami ajaran agama Islam. Sebab patokan atau pakem yang dijadikan rujukan oleh masing-masing adalah sama, yakni al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya bagaimana kemudian dua sumber tersebut dipahami, secara mendetail dan pengamalan yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad, yakni berahlak mulia dan dengan Mauidzotul hasanah tanpa menyakiti sesama. Oleh karena itu alangkan indahnya apabila kita kembalikan semua ajaran islam sesuai garis-garis dasar yang telah di firmankan Alloh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ`: 59)

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Q.S. al An’am 159)

Dan sebagai penutup kami mengajak para Alim-Ulama, para cendekiawan Muslim, para santri dan segenap masyarakat untuk menjadi benteng terakhir ajaran islam, sesuai Sabda Nabi SAW.:

تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 449)
أَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ عَنْهُ مَرْفُوعًا : ” إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهَا ، فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : فِيهِ اِنْقِطَاعٌ ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ .
سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 322)
275 – حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِى السَّرِىِّ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّرِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ».
“Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, (maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu memperlihatkan ilmunya), maka barangsiapa yang menyembunyikan hadist (ilmu pada waktu tersebut), benar-benar (seumpama) seseorang yang menyembunyikan apa yang telah Alloh turunkan (diwahyukan kepada Sayyidina Muhammad SAW!!!)”.

Wallohu A’lam Bisshowab….

Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian) AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

September 27, 2013 Add Comment
Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian) AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

 

Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian)

Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).

Mengenai ayat :
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
Maka Ibn Abbas radliyallahu ‘anh menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَاكَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka... (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al-Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاللذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.

Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul shallalahu ‘alayhi wa sallam tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam :
Berkata Imam al-Hafidh al-Muhaddits Ali bin al-Muwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”. 
Berkata al-Imam al-Hafidh al-Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”. 
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313 H. 
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq.

Disalin dari buku Kenalilah-Akidahmu-1karya al-Habib Munzir al-Musawa
Pengasuh Majelis Rasulullah

WAWANCARA EKSTKUTIP DENGAN KETUA UMUM PBNU TENTANG WAHABI

September 27, 2013 Add Comment
WAWANCARA EKSTKUTIP DENGAN KETUA UMUM PBNU TENTANG WAHABI


Rekan Rekan dari Majalah Risalah NU melakukan wawancara dengan Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj. Berikut petikan wawancaranya :


Bagaimana sebenarnya Wahabi di Indonesia?


Itu sebenarnya sudah lama, tapi eksisnya sejak tahun 80-an setelah Arab Saudi membuka LIPIA (Lembaga llmu Pengetahuan Islam dan Arab). Ketika itu direkturnya masih bujangan yang kawin dengan orang Bogor. Kemudian menampakkan kekuatannya, bahkan mereka membuka yayasan-yayasan. Setahu saya ada 12 yayasan yang pertama kali dibentuk. Antara lain As-Shafwah, Assunnah, Annida, Al-Fitrah, Ulil Albab, yang semuanya didanai oleh masyarakat Saudi, bukan oleh negaranya. Contoh, Assunah dibangun oleh Yusuf Ba'isa di Cirebon, di Kali Tanjung, Kraksan. Sekarang ketuanya Prof. Salim Badjri, muridnya adalah Syarifuddin yang ngebom Polresta Cirebon beberapa waktu lalu. Dan satu lagi yang ngebom gereja Bethel di Solo namanya Ahmad Yusuf. Jadi, sebenarnya, Wahabi ajarannya bukan teroris, tapi bisa mencetak orang jadi teroris karena menganggap ini itu bid'ah, musyrik, lama-lama bagi orang yang diajari punya keyakinan,"Kalau begitu orang NU boleh dibunuh dong, kalau ada maulid nabi boleh di bom," dan seterusnya.

Soal pemalsuan kitab-kitab Sunni, khususnya kitab yang jadi referensi NU, bagaimana?

Kita sudah berjuang sekuat tenaga untuk mengkounter pendapat mereka. Kita jangan minder dan merasa kalah. Kalau hanya dihujat maulid nabi gak ada dalilnya, atau ziarah kubur gak ada dalilnya, sudah banyak buku yang ditulis untuk membantahnya. Misalnya yang ditulis pak Munawir-Yogya, Abdul Manan-Ketua PP LTM NU, Idrus santri Situbondo, Muhyiddin Abdus Somad dari Jember, dan lain sebagainya. Banyak yang menulis buku tentang dalil-dalil amaliah kita. Ziarah kubur dalilnya ini, maulid nabi dalilnya ini, tawassul dalilnya ini. Seperti saya sering mengatakan maulid nabi itu memuji-muji nabi Muhammad, semua sahabat juga memuji nabi Muhammad, setinggi langit bahkan. Nabi Muhammad diam saja tidak melarang. Tawassul, semua sahabat juga tawassul dengan Rasulullah. Tawassul dengan manusia, Rasulullah lho! Bukan Allahumma langsung, tapi saya minta tolong Rasullulah.sampai begitu! Litarhamna, rahmatilah kami. Labid bin Rabiah mengatakan, kami datang kepadamu wahai manusia yang paling mulia di atas bumi, agar engkau merahmati kami. Coba, minta rahmat kepada Rasulullah, kalau itu dilarang, kalau itu salah, Rasulullah pasti melarang, "jangan minta ke saya, musrik". Tapi Enggak tuh!

Dalam Al-Quran juga ada dalil, walau annahum idz dzalamu anfusahum jauka fastaghfarullaha wastaghfara lahumurrasul lawajadullaha tawabarrahima (surat Ahzab). Seandainya mereka yang zalim datang kepada Muhammad, mereka istigfar, dan kamu pun (Muhammad) memintakan istighfar untuk mereka, pasti Allah mengampuni.

Bagaimana dengan kitab-kitab Wahabi?

Ya kan sudah banyak yang diterjemah, bahkan kalau ada orang pergi haji pulang dapat terjemahan. Itu dari kitab-kitab Wahabi semua.

Siapa pendiri Wahabi?

Begini, Muhammad bin Abd Wahab, pendiri Wahabi itu mengaku bermazhab Hambali, tapi Hambali versi ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah pengikut Hambali yang ekstrim. Imam Hambali itu imam ahli sunnah yang empat yang selalu mendahulukan nash atau teks daripada akal, jadi banyak sekali menggunakan hadist ahad. Kalau Imam Hanafi kebalikannya, dekat dengan akal. Murid Imam Hambali lebih ekstrim, lahirlah Ibnu Taimiyah yang kemudian punya pengikut Muhammad bin Abd Wahab. Di sini menjadi luar biasa, malah dipraktekkan menjadi tindakan, bongkar kuburan. Sementara Ibnu Taimiyah masih teori dan wacana.

Asal Usul Wahabi dari mana?

Bukan dari Mekkah, dari Najd, Riyadh. Orang Makkah asli, Madinah asli, Jiddah asli gak ada yang Wahabi, hanya tidak berani terang- terangan.Dulu hampir saja terjadi fitnah, ketika mahkamah Syar'iyyah al 'ulya (mahkamah tinggi syar'i) menghukumi Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki harus dibunuh karena melakukan kemusyrikan. Keputusannya sudah ditandatangani oleh Raja Khalid, tapi dimasukkan laci oleh Raja Fahd.waktu itu putera mahkota, katakanlah dibekukan! Kalau terjadi, gempar itu!

Untuk membendung gerakan Wahabi, apa yang harus diiakukan NU?

Saya yakin kalau yang keluaran pesantren gak terpengaruh. Saya di sana 13 tahun, sedikitpun, malah berbalik benci. Semua yang keluaran dari NU ke sana, seperti pak Agil Munawar, Masyhuri Na'im, gak ada yang Wahabi. Semua keluaran sana gak ada yang Wahabi kalau dari sini bekalnya kuat. Atau bukan NU, seperti Muslim Nasution dari Wasliyah, pak Satria Efendi dari PERTI, gak Wahabi meskipun di sana belasan tahun sampai doktor. Pak Maghfur Usman, Muchit Abdul Fattah, pulang malah sangat anti, Wahabinya.

Insya Allah Selama pesantren- NU masih eksis, Wahabi gak akan masuk. Wahabi pertama kali dibawa Tuanku Imam Bonjol yang tokoh Padri. Padri itu pasukan berjubah putih yang anti tahlil. Hanya waktu itu kekerasannya Imam Bonjol untuk menyerang Belanda. Padahal ke internal juga keras. Imam Bonjol itu anti ziarah kubur. Kuburannya di Manado. Waktu saya ke Menado ditawari, "mau ziarah kubur gak?" Ya waktu hidupnya gak seneng ziarah kubur, masak saya ziarahin?

Tentang pengikut Wahabi yang banyak dari kalangan Eksekutif?
Orang kalau sudah punya status sosiai, direktur, sudah dapat kedudukan, terhormat, kaya, yang kurang satu, ingin mendapatkan legitimasi sebagai orang soleh dan orang baik-baik. Nah, mereka kemudian mencari guru agama. Guru agama yang paling gampang ya mereka, ngajarinya gampang. Kalau ngaji sama orang NU kan sulit, detil. Kalau sama mereka yang penting ini Islam, ini kafir, ini halal, ini haram, doktrin hitam putih. Sehingga di antara orang-orang terdidik terbawa oleh aliran mereka. Karena masih instan faham agamanya. Kaiau kita gak, kita faham agamanya sejak kecil.

Inti gerakan Wahabi itu di semua lini ya?

Harus diingat bahwa berdirinya NU itu adalah karena perilaku Wahabi. Wahabi mau bongkar kuburan Nabi Muhammad, KH Hasyim bikin komite Hijaz yang berangkat Kiai Wahab, Haji Hasan Dipo (ketua PBNU pertama), KH Zainul Arifin membawa suratnya kiai Hasyim ketemu Raja Abdul Azis mohon, mengharap, atas nama umat Islam Jawi, mohon jangan dibongkar kuburan Nabi Muhammad. Pulang dari sana baru mendirikan Nahdlatul Ulama. Jadi memang dari awal kita ini sudah bentrok dengan Wahabi. Lahirnya NU didorong oleh gerakan Wahabi yang bongkar-bongkar kuburan, situs sejarah, mengkafir- kafirkan, membid'ah-bid'ahkan perilaku kita, amaliah kita. Tadinya diam saja, begitu yang mau dibongkar makam Nabi Muhammad, baru KH Hasyim perintah bentuk komite tersebut.

Seberapa Kuat Wahabi Sekarang?

Sebetulnya tidak kuat, sedikit. Tapi dananya itu yang luar biasa. Dan belum tentu orang yang ikut karena percaya Iho! Artinya kan semata-mata karena dapat uang. Uangnya luar biasa. Si Arab-arab itu, kan kebanyakan Arab bukan Habib. Jadi pada dasarnya mereka juga cari uang.

Ancamannya seberapa besar?

Yah, Kalau kita biarkan ya terancam. Kalau setiap hari radio MTA, TV Rodja ngantemin maulid nabi, ziarah kubur, lama-lama orang terpengaruh juga.

End

Publiser By. Von Edison Alouisci
Majalah Risalah NU No. 38/Tahun VI/1434H/2013

BAGI NU YANG UTAMA ADALAH DEMI KEMERDEKAAN, BUKAN UNTUK MENGEJAR NAMA BAIK, PANGKAT MAUPUN JABATAN

September 03, 2013 Add Comment



“Biografi Pemuda NU KH. Zainul Arifin, Panglima Hizbullah”

Memperingati Hari Lahir Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia KH. Zainul Arifin (2 September 1909-2 Maret 1963) ke-104. Zainul Arifin (Pohan) politisi NU, panglima Hizbullah Masyumi, aktif di BP KNIP (parlemen), Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali I (1953-1955) dan Ketua DPRGR dari 1960 hingga wafatnya 1963.

Beliau lahir pada tanggal 2 September tahun 1909 M di Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera Utara. Kota yang terkenal karena produk kapur barusnya sejak 160 Masehi. Kota ini pun semakin harum karena telah melahirkan banyak ulama-ulama besar, diantaranya Hamzah Fansuri, seorang sufi yang terkenal dengan kitab tasawufnya.

Pengetahuan kemiliteran H. Zainul Arifin muda didapatkannya dari pelatihan militer pertama oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai Komandan Batalion Hizbullah dan kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah. Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, KH. Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur, membuat Hizbullah menjadi wadah laskar rakyat yang disegani dan berwibawa.

Beliau pernah menduduki jabatan Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal (Sekjen) Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang. Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). KH. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan para laskar rakyat pejuang yang nasionalis.

Bahkan sejarah perjuangan luar biasa NU dan Hizbullah pun secara sistematis dikaburkan dari lembaran sejarah, seperti kritik seorang peneliti dan pemerhati Indonesia dari Belanda, Martin Van Bruinessen- NU tak pernah mendapat tempat memadai dalam berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan. Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar KH. Zainul tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kyai-santri berjuang semata-mata lillahi ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar nama baik, pangkat maupun jabatan. Hanya beberapa laskar Hizbullah yang diterima di TNI, bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.

Pada tahun 1947, KH. Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali di tanah air. KH. Zainul ikut bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar di mana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.

Ketika shalat Idul Adha tahun 1962 di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH. Zainul Arifin dan Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan
sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan
itu dilakukan oleh sisa-sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau
menghancurkan Indonesia untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam
insiden yang amoral itu, tetapi KH. Zainul Arifin mengalami-luka-luka.

Dari peristiwa tersebut kesehataanya mulai memburuk dan beliau wafat pada tanggal 2 Maret tahun 1963 M dalam usia 54 tahun. Sebagai seorang pejuang, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan ketika itu beliau masih menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.

Lahu al-Fatihah...

Recent Post